Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Agama sebesar agama Islam sudah
barang tentu memilki sejarah yang panjang dalam memunculkan peradabanya
sehingga Islam masih sangat eksis dalam kehidupan manusia dan menjadi slah satu
agam terbesar yang dianut pada masa sekarang.
Peradaban islam mulai berlangsung
pada masa kenabiyan Rasulullah dan dilanjutkan kepada masa-masa sahabat yang
dijuluki masa khulafau rasyidin dan dinasti umayyah dan dinasti abbasiyah yang
membawa peranan penting dalam peradaban yang terjadi dalam dunia islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
saja kemajuan dalam peradaban Islam dari masa khulafa rasyidin hingga bani
abbasiyah ?
2.
Bagaimanakah tahapan dan bentuk transmisi sains Islam ke Barat-Kristen ?
Bab II
Pembahasan
1.
Masa Puncak Peradaban Islam
A.
Masa Khulafu Rasyidin
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan
wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik
umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan
tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah tidak
lama setelah beliau wafat belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh
Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka
memusyawarahkan siapa yang akan dipilih ruenjadi pemimpin. Musyawarah itu
berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar,
sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umatIslam. Namun dengan semangat
ukhuwah Islamiyah yang tinggi akhirnya Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat
keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam,
sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah
RasuL Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah(Pengganti Rasul) yang dalam
perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang
diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas
sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua
tahun. Pada tahun 634 M la meninggal
dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam
negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang
tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa
perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad dengan sendirinya batal setelah
Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala
dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu
Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang
melawan kemurtadan: Khalid ibn Al-Walid
adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya kekuasaan yang dijalankan
pada masa Khalifah Abu Bakar sebagaimana pada masa Rasulullah bersifat sentral;
kekuasaan legislatif, eksekuti dan yudikatif terpusat di tangan khalifah.
Selain menjalankan roda pemerintahan Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun
demikian seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu. Mengajak sahabat-sahabat
besamya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang
dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke Iuar Arabia. Khalid ibn
al-Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan
empat jenderal yaitu Abu Ubaidah, Amr ibn’ ash, Yazid ibn Abi Sufyan, dan Syurahbil.
Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk
memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan
melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Abu Bakar meninggal dunia sementara
barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina dan kerajaan Hirah. la
diganti oleh “tangan kanan"nya, Umar ibn Khathab. Ketika Abu Bakar sakit
dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat,
kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah
kemungkinan terjadiriya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam.
Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera
secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya khalifah Khalifati
Rasulillah(pengganti dan pengganti Rasulullah) la juga memperkenalkan istilah
Amiral-Miu'minin (Komandan Orangg yang beriman).
Di Zaman Umar gelombang ekspansi
(perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi, ibu kota Syria, Damaskus, jatuh
tahun 635 M dan setahun kemudia setelah tentara Bizantjum kalah di pertempuran
Yarmuk seluruh daerah Syria jatuh ke bawa kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria
sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr ibn 'Ash dan
ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqasli. Iskandaria, ibu kota Mesir,
ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
AI-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh tahun 637 M. Dan sana
serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jahlh pada tahun itu juga.
Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian pada masa kepemimpinan
Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, syiria
sebagian besar wilayah persi dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi
dengan cepat, Umar segera mengatur Administrasi negara dengan mencontoh yang
sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi
delapan wilayah propinsi: Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah,
Palestina, dan Mesir. Beberapa depattemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur
dan ditertibkan sistem pembayaran gaji
dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga
yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban
dibentuk kepolisian. Demikian pula jawatan pekerjaan umum.
Umar juga mendirikan Bait al -Mal, menempah mata uang dan menetapkan tahun
hijrah.
Umar memerintah selama sepuluh tahun
(13-23 H1634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh
seorang budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya,
Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang
sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya
menjadi khalifah.
Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqas,
dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bemusyawarah dan berhasil
menunujuk Usman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali
ibn Abi Thalib.
Di masa pemerintahan Usman (644-655
M) Armenia,Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dan Persia,
Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti
sampai di sini. Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh
terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan
umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan
kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umurya yang lanjut (diangkat dalam usia
70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut, Akhirnya pada tahun 35 H/655 W Usman
dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dan orang-orang yang kecewa
itu.Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap
kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaanya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggal.
Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasamya yang
menjalankan pemerintahan sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah.
Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan- jabatan penting,
Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak
dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan
bawahan. Harta kekayaan negara, oleh karabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol
oleh Usman sendiri. Meskipun demikian tidak berarti bahwa pada masanya tidak
ada kegiatan-kegiatan yang penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk
menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia
juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, mesjid-mesjid dan memperluas
mesjid Nabi di Madinah.
Setelah Usman wafat masyarakat
beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah
hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya ia menghadapi berbagai
pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat
dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur
yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan- pemberontakan terjadi
karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan
Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara dan
memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang- orang Islam
sebagaimana pemah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi
Thalib menghadapi pembrontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali
tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela terhadap darah
Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenamya ingin sekali
menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya
mau berunding untuk menyelesaikanperkara itu secara damai. Namun ajakan
tersebut ditolak. Akhimya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini
dikenal dengan perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran ini menunggang
unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya Zubair dan Thalhah terbunuh ketika
hendak melarikan diri sedangkan Aisyah ditawan dan diKirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan ini kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan
timbulnya perlawanan dan gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh
sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali
bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya
bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang
dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhini dengan tahkim
(arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan
timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dan barisan
Ali. Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali ibn Abi thalib umat Islam
terpecah menjadi tiga kekuatan politik yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut) Ali,
dan al-Khawarij (orang- orang yang luar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak
menguntunglma Ali. Munculnya kelompok
al-khawarij menyebabkan tentaranya semangkin lemah, sementara posisi Mu’awiyah
semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M. Ali terbunuh oleh salah
seorang anggota Khawarij. Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh
anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah
sementara Mu'awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai.
Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan
politik, di bawah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga
menyebabkan Mu'awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M),
tahun persaman itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun Jama'ah (‘am jama'ah).
Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin,
dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam, Ketika itu
wilayah kekuasaan Islam sangat tuas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh
dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan
kemenangan menakjubkan dan suatu bangsa yang sebelumnya tidak pemah mempunyai
pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu
demikian cepat antara lain adalah:
1. Islam, di samping merupakan
ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang
mementingkan soa]pembentukan masyarakat.
2. Dalam dada para sahabat Nabi
tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah)
ke seluruh penjlun dunia. Di samping itu, suku-suku bangsa Arab gemar
berperang. Semangat dakwah dan kegemaran berperang tersebut membentuk satu
kesaman yang padu dalam diri umat lslam.
3. Bizantium dan Persia, dua
kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa
kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya
maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri
masing-masing.
4. Pertentangan aliran agama di
wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat.
Rakyat tidak senang karem pihak kerajaan memaksakan aliran yang dianutnya.
Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan
melawan Persia.
5. Islam datang ke daerah-daerah
yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran tidak memaksa rakyat untuk
mengubah agamanya dan masuk Islam.
6. Bangsa Sami di Syria dan
Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada
mereka daripada bangsa Eropa Bizantium, yang memerintah mereka.
7. Mesir, Syria, dan Irak adalah
daerah-daerah yang kaya. Kekayaan ini membantu penguasa Islam untuk membiayai
ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Mulai dari masa Abu Bakar sampai
kepada Ali dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut
al-khulafa' arasyiidun, (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa
ini adalah para khalifah betu1-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih
melalui proses musyawarah yang dalam istilah sekarang disebut demokratis.
Setelah periode inL pemintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan
diwariskan turun temurun. Selain seorang
khalifah pada masa khalifah Rasyidah, tidak pemah bertindak sendiri ketika
negara menghadapi kesulitan: Mereka selalu bermusyawarah dengan
pembesar-pembesar yang lain. Sedangkan khalifah-khalifah sesudahnya beritindak
otioriter.
B.
Masa Bani Umayyah
Masa pemerintahan Bani
Umayyah terkenal sebagai era agresif, dimana perhatihan tertumpu pada usaha
perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua Khulafa’ Arrasyidin
terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru
mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah
Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina,
sebagian daerah Anatholia, Irak, Persia, Afganistan, India, dan negeri-negeri
yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Usbekistan, dan Kirgististan yang
termasuk Soviet dan Rusia.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, Penaklukan militer di zaman Umayyah mencakup
front tiga penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama
pengepungan ke Ibukota Konstantinopel, dan peneyrangan ke pulau-pulau di laut
tengah.
Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan derah hitam Arfika, pasukan Muslim
juga menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke
jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di
seberang sungai Jihun (Amudarya). Sedangkan yang lainnya ke arah selatan
menyusuri Syin, wilayah India bagian Barat.
Saat-saat yang paling
mengesankan dalam ekspansi ini ialah terjadi pada paruh pertama dari seluruh
masa Kekhalifahan Bani Umayyah, yaitu ketika kedaulatan dipegang oleh Muawiyyah
bin Sofyan dan tahun-tahun terkahir dari zaman kekuasaan Abdul Malik. Diluar masa-masa tersebut, usaha-usaha
penaklukan mengalami degradasi atau hanya mencapai kemenangan-kemenangan yang
sangat tipis.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah diraih dalam kemajuan besar dalam
perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mencolok ialah keberaniannya mengepung kota
Konstantinopel melalui suatu ekspedisi yang di pusatkan di kota
pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau pulau di Laut
Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama
Award, tidak jauh dari ibukota RomawiTimur itu. Di belahan timur, Muawiyyah berhasil menaklukkan
Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan.
Ekspansi ke Timur yang telah dirintis oleh Muawiyyah, lalu disempurkan oleh
Khalifah Abdul Malik. Dibawah komando gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, tentara
kaum Muslimin menyeberangi sungai Amudaria dan mmenundukan Balk, Bukhoro,
Khawarizm, Fargana, Samarkhand, pasukan Islam juga melalui Makron masuk ke
Balukhistan, Syin dan Punjab sampai ke Multan, Islam menginjakkan kakinya untuk
pertama kalinya di bumu India.
Kumudian tiba masa kekuasaan Al Walid I yang disebut-sebut sebagai masa
kemenangan yang luas. Pengepungan yang gagal atas kota Knstantinopel di zaman
Muawiyyah, dihidupkan kembali denagn memberikan pukulan-pukulan yang cukup
kuat. Walaupun cita-cita untuk menundukkan ibukota Romawi tetap saja belum
berhasil, tetapi tindakan itu sedikit banyak berhasil menggeser kapal batas
pertahanan Islam lebih jauh ke depan, dengan menguasai basis-basis militer
kerajaan Romawi di Mar’asy dan ‘Amuriah.
Prestasi yang lebih besar dicapai oleh Al-Walid I ialah di front Afrika Utara sekitarnya. Setelah segenap tanah Afrika
bagian Utara diduduki, pasukan Muslim di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad
menyebrangi selat Gibraltar masuk ke Spanyol. Lalu ibukotanya, Cordova segera
dapat di rebut, menyusul kemudian kota-kota lain seperti Sevilla, Elvira dan
Toledo. Gubernur Musa bin Nushair kemudian menyempurnakan penaklukan atas Tanah
Eropa ini dengan menyisir kaki Pegunungan Pyrenia dan menyerang Carolingian
Prancis.
Berikut kemajuan-kemajuan semasa Dinasti Umayyah berdasarkan bidangnya masing-masing:
1. Bidang Kemiliteran
Kemajuan masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang paling menomjol adalah
di bidang kemiliteran. Selama peperangan dengan militer Romawi pasukan Arab
mengambil tekhnik kemiliteran mereka dan memadukannya dengan sistem pertahanan yang
telah di miliki sebelumnya. Pasukan Islam mendirikan tenda-tenda yang terdiri
dari 2-4 pintu dengan perlindungan benteng dan parit.
Kuffah dan Basroh merupakan basis militer untuk wilayah timur, formasi kekuatan pasukan Muslim terbagi dua barisan. Barisan depan dan barisan belakang. Seluruhnya
terdiri lima lapisan, yakni satu lapisan pusat, dua lapisan pasukan sayap,
lapisan penyerbu , dan lapisan prtahanan. Kekuatan pasukan-pasukan Dinasti Umayyah ini telah mencatat sukses-sukses besar dalam
tugas-tugas ekspansi. Kemajuan kekuatan militer pada masa ini juga di tandai
dengan terbentuknya angkatan laut Islam oleh Muawiyyah. Ia mengarahkan para
pakar kelautan untuk merancang pembuatan galangan perkapalan di pantai Syiria.
2. Sistem Sosial
Terdapat empat kelompok masyarakat, yakni Arab
Muslim. Mawalli, non Muslim, dan kelompokm Arab-Muslim menduduki kelas sosial
tertinggi di sebabkan karena mereka sebagai kelompok pendatang yang berkuasa,
juga di karenakan sistem aristokrasi. Namun pada prinsipnya mereka semua
mendapat perlindungan hak-hak secara penuh sehingga mereka dapat hidup dengan
tenang dan damai. Perbedaan yang menonjol adalah dalam hal beban kewajiban
pajak. Hampir di katakan tidak ada perselisihan antaragama. Yang muncul
perselisihan antarsuku. Contohnya kelompok Mudariyah dengan kelompok Arab
Himyariyah.
3. Kemajuan Arsitektur
Penguasa Dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam seni arsitektur, mereka
mencurahkan perhatiaanya demi kemajuan bidang ini hasilnya adalah ssejumlah
bangunan megah, Masjid Baitul Maqdis di Yerussalem, yangn terkenal dengan kubah
batunya (qubah al-sakhra) didirikan pada masa Abdul Malik pada tahun 691
M. Ia adalah masjid pertama yang di tutup kubah di atasnya. Dan juga masjid al
Aqsa yang tidak kalah tinggi arsiteknya sebuah masjid terindah yang terdapat di
Damaskus yang didirikan oleh Walid bin Abdul Aziz. Ia juga merehap masjid Madinah antara beberapa
monument peninggalan Umayyah yang terkenal adalah istana Qusayr Amrah. Istana ini terbuat dari batu kapur yang berwarna kuning
kemerah-merahan.
4. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Bani Muawiyyah menyusun
tata pemerintahan yang sama sekali baru. Guna untuk memenuhi tuntutan
perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain
mengangkat majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu
oleh beberapa orang ‘ Al Kuttab “ (sekretaris) untuk membantu dalam pelaksanaan
tugas , yang meliputi:
a. Kartib ar-Rasail, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b. Kattib al Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan
pemasukan dan penerimaan negara.
c. Katib al Jundi, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal
yang berkaitan dengan ketentaraan.
d. Katib as-Syurtah, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban.
e. Katib al Qudat, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib
hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.
Terbentuknya Dinasti
Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali
mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase
ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 -
750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa
sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain
di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual dan peradaban.
a. Dinamika Politik
Dalam awal perkembangannya, Dinasti ini sangat kental
diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam
dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya
eksistensi Dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat
Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering
mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
a. Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi. Pemindahan sistem
kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang
dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan
pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis).
b. Sistem Sosial (Arab dan Mawali). Pada masa Nabi dan khalifah yang empat,
keanggotaan masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan
keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar terdiri Muslim dan non
Muslim, dan dalam memperlakukan orang Islam sebagai mayoritas dapat
dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-hal yang
praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa
tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai
tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan
masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non-Arab setelah
menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan
demikian masyarakat Muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari
dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.
Dikalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan
nama Asy-Syu’ubiyyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum
Muslimin yang sebetulnya mereka bersaudara, dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan
mereka serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim
turunan Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.
c. Kebijaksanaan dan Orientasi Politik. Selama
lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayyah ini memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan
politik yang dilakukan pada masa ini, seperti:
1) Pemisahan Kekuasaan. Terjadi dikotomi antara
kekuasaan agama (spiritual power) di tunjuklah qadhi/ hakim dan
kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah dipahami bahwa Mu’awiyah
bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan kepada para
Ulama.
2) Pembagian wilayah. Khalifah bin Khattab terdapat
8 Provinsi, maka pada masa Bani Umayyah menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan
terbagi dalam 10 provinsi,
yaitu:
a)
Syiria dan Palestina;
b)
Kuffah dan Irak;
c)
Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain,
Oman, Najd dan Yamamah;
d)
Armenia;
e)
Hijaz;
f)
Karman dan India;
g)
Egypt (Mesir);
h)
Ifriqiyah (Afrika Utara);
i)
Yaman dan Arab selatan, dan
j)
Andalusia.
3) Bidang Administrasi Pemerintahan. Di bidang pemerintahan, Dinasti membentuk
semacam Dewan Sekretaris Negara (Dewan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang
sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy
Syurtah dan katib al Qadi. Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al
Umara (Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya
pemerintahan ditentukan, oleh empat departemen pokok (dewan) yaitu :
a) Dewan Rasail (istilah sekarang disebut
sekretaris jenderal). Dewan ini berfungsi untuk mengurus surat-surat negara
yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka. Ada
dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat negara (dipusat) yang
menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Kedua, sekretariat Provinsi
yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa pengantarnya
kemudian menjadi bahasa Arab sebagai pengantar ini terjadi setelah bahasa Arab
menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam.
b) Dewan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh
Shahib al-Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada
khalifah.
c) Dewan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai
penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa
pemerintahan Abdul Malik berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan
pemerintah.
d) Dewan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap
peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin di dalam suatu register,
kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang dituju.
4) Politik Arabisasi. Dengan tatanan masyarakat
yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi penguasa Dinasti ini untuk
mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,yaitu membangun bangsa Arab
yang besar dan sekaligus menjadi kaum Muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara
lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak
yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk
daerah Islam dan bahkan adat-istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan
menjadi Arab. Pada masa Bani Umayyah (sejak Khalifah Abd Malik bin Marwan),
berkembang istilah Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Bidang ini
dilakukan Bani Umayyah antara lain dalam pengangkatan kepala-kepala wilayah
dari bangsa Arab untuk ditempatkan pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Di samping itu ia mengajarkan bahasa Arab di seluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam
bahasa Arab.
Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan
wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai
Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada
tahun 760 M. Di sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore
di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat
menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah
merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal
setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.
Zaman Walid I, dengan
dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai penaduduk yaitu: Qutaybah
bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan
mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir,
berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin
Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan
kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya
Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan pasukan Muslim menyusul kota Seville,
Malaga, Elvira dan Cordoua yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al
Andalus).
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan
melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari
Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke
sebelah selatan Perancis, namun ada kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh
Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang
ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk mangakhiri ekspansinya ke
Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus.
Di masa Abdul Malik,
Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur Khurasan, menjadi wakilnya
pada tahun 86 H. Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina diurungkan, karena
delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar-menukar
cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan pemuda
kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada
tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai
Indus, kemudian tempat itu diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya
hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat.
b. Dinamika Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan
orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi
tuan-tuan tanah. Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk
membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya berlaku kepada penduduk non
Muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk yang masuk Islam, akibatnya
secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun demikian dengan
keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia beserta wilayah
kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti ini melimpah
ruah yang mengalir untuk kas negara. Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya
adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat dan laut, lalu lintas
darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera,
keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah
negeri-negeri belahan untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan. Keadaan demikian membuat kota
Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan
dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam
yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan
perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis
industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang
dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz
bertuliskan lafaz "La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar
produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik
kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi
tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
c. Dinamika Sosial
Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada masa Dinasti Umayyah, bangsa
Arab mendapatkan posisi terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab
merupakan tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang
membangun Daulat Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif
pada motivasi orang-orang non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini
juga berpengaruh pada perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan
cepat.
Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada
masa pemerintahan Bani Umayyah adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap
sikap Mua'wiyah yang mengubah sistem sukses khalifah dari pemilihan terbuka
menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada keturunan raja.
d. Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak
bahasa yang digunakan dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan
Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia
mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di
seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa
Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al
Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat
kebudayaan yaitu Yunani Iskandariyah. Antiokia, Harran, dan Yunde Sahpur yang
semula dikembangkan oleh imuwan-ilmuwan Yahudi, Nasrani, dan Zoroaster Khalifah
Khalid bir'i Yazid bin Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran tajam
berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.
Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian
kepada bimarstan, yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat, perawatan
orang sakit dan studi kedok-teran yang berada di Damaskus, sedangkan khalifah
Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits
Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar, seorang dokter dan
Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.
Pengaruh lain dan ilmuwan Kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan
secara sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran
kepada sistem tulisan menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku.
Pendukung dalam pengembangan ilmu adalah golongan non-Arab dan telaahnya pun
sudah meluas sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi ilmu pengetahuan bidang agama,
bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat. Ilmuwan itu antara lain
Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu Zubair, Muhammad bin
Muslim bin Idris dan Bukhari Muslim (ahli Hadits) dan Mujahid bin Jabbar (ahli
tafsir).
e. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)
Ekspansi Islam yang berlangsung dari pertengahan abad ke tujuh sampai
permulaan abad ke delapan, salah satu hasilnya ialah terintegrasinya
daerah-daerah yang ditaklukkan itu dalam suatu kesatuan sosial politik yang
disebut Dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu merupakan suatu kawasan
ekonomi yang terpadu dalam suatu jaringan pasaran bersama. Wilayah inti
meliputi daerah-dearah bekas kerajaan Persia, Imperium Bizantium di Suria dan
Mesir serta daerah-daerah Barbar di Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol)
itu, merupakan salah satu jaringan penting dari rute utama perdagangan
Internasional yang terbentang antara China dan Spanyol, dan antara Afrika Hitam
dengan Asia Tengah.
5. Sistem Militer
Pada masa Dinasti Bani Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan
dipaksa atau setengah dipaksa. Untuk menjalankan kewajiban ini dikeluarkan
semacam undang-undang wajib militer yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbary.
Politik ketentaraan dari Bani Umayyah, yaitu politik Arab, di mana anggota tentara haruslah terdiri dari orang-orang Arab atau unsur
Arab. Maka dari itu mereka terpaksa meminta bantuan kepada bangsa Barbari untuk
menjadi tentara karena wilayah mereka yang luas meliputi Afrika Utara,
Andalusia, dan lain-lain.
a. Perluasan ke Asia Kecil
Dengan armada laut yang terdiri dari 1700 kapal, lengkap dengan perbekalan
dan persenjataannya. Lalu Mu’awiyah menyerang pulau-pulau dilaut tengah
sehingga berhasil menduduki pulau Rhodes tahun 53 H dan pulau Kreta tahun 54 H.
Kemudian diserang kota Konstatinopel. Pulau-pulau ini dekat Cyprus yang telah
ditaklukkan pada zaman Usman. Penyerangan ini dipimpin oleh Janadah bin Abi
Umayyah. Kemudian mengepung kota Konstatinopel di bawah pimpinan Yazid bin
Mu’awiyah dan didampingi oleh pahlawan Islam yang berani seperti Abu Ayyub
al-Anshar, Abdullah ibnu Zuber, Abdullah ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Pengepungan
ini selama 7 tahun (54-61 H). Abu Ayyub al-Anshar gugur pada peperangan ini.
Penyerangan pertama ini gagal karena ada pengkhianatan Loen Mar’asy.
b. Perluasan ke Timur
Ke arah Timur dapat menaklukkan daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan
dari Afghanistan sampai ke Kabul. Kemudian diteruskan pada zaman Abd. Malik di bawah pimpinan Al- Hajjaj ibn Yusuf. Kemudian dapat
menundukkan daerah Balkh, Bukhara, Khawarizan, Fergnana, dan Samarkand.
Selanjutnya pasukan Muslim juga samapi ke India serta dapat menguasai
Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan (713 H).
c. Perluasan ke Afrika Utara
Uqbah ibn Nafi’ al-Fahri telah menetap di Barqah setelah
wilayah itu dikuasai. Oleh karena kemahiran dan keberaniannya, ia mengalahkan
armada Bizantium di daerah pantai, barbar dipedalaman, serta Tripoli dan
Fazzan.
Kekuatan Maritim Islam menjadi lebih berkembang pada
masa Umayyah timur. Pada masa Khalifah al-Walid. Jenderal Thariq bin Ziyad dapat menyeberangkan
ajaran Islam ke Spanyol. Pada tahun 95 H/ 713 M dapat membebaskan rakyat
Spanyol dan Eropa dari penindasan bangsa Visigoth (Gothik) Barat yang telah
berkuasa selama 300 tahun.
C.
Masa Bani Abbasiyah
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan
masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini, umat Islam telah banyak melakukan
kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan, yaitu melalui upaya penterjemahan
karya-karya terdahulu dan juga melakukan riset tersendiri yang dilakukan oleh
para ahli. Kebangkitan ilmiah pada zaman ini terbagi di dalam tiga lapangan,
yaitu : kegiatan menyusun buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu Islam dan
penerjemahan dari bahasa asing
Setelah mencapai kemenangan di medan perang,
tokoh-tokoh tentara membukakan jalan kepada anggota-anggota pemerintahan,
keuangan, undang-undang dan berbagai ilmu pengetahuan untuk bergiat di lapangan
masing-masing. Dengan demikian munculah pada zaman itu sekelompok
penyair-penyair handalan, filosof-filosof, ahli-ahli sejarah, ahli-ahli ilmu
hisab, tokoh-tokoh agama dan pujangga-pujangga yang memperkaya perbendaharaan
bahasa Arab.
Banyak ahli dalam bidang-bidang ilmu
pengetahuan, seperti; filsafat. Filosuf terkenal saat itu antara lain adalah Al-Kindi
(185-260 H/801-873 M). Abu Nasr al Faraby (258-339 H/870-950 M),
yang menghasilkan karya dalam bentuk buku berjudul Fusus al-Hikam,
Al-Mufarriqat, Ara’u ahl al-Madinah al-Fadhilah. Selain mereka, juga ada Ibnu
Sina(370-428 H/980-1037 M), Ibnu Bajjah (w. 533 H/1138 M), diantara
karyanya adalah Risalatul Wada’, akhlak, kitab al-Nabat, Risalah al-Ittishal
al-‘Aql bil Ihsan, Tadbir al-Mutawahhid, kitab al-Nais, Risalah al-Ghayah
al-Insaniyah, Al-Ghazali (1059-1111 M), Ibnu Rusyd (520-595
H/1126-1196 M), dan lain-lain. Selain filsafat, juga terjadi perkembangan dan
kemajuan dalam bidang Ilmu Kalam atau Teologi. Diantara tokoh-tokohnya adalah Washil
bin Atha, Baqillani, Asyary Ghazali, Sajastani, dan lain-lain.
Adapun
bentuk-bentuk peradaban Islam pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai
berikut :
1.
Kota-Kota Pusat
Peradaban
Di antara kota pusat peradaban pada masa
dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan Samarra. Baghdad merupakan ibu kota negara
kerajaan Abbasiyah yang didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M)
pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban
dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Ke kota inilah para ahli ilmu pengetahuan
datang beramai-ramai untuk belajar. Sedangkan kota Samarra terletak di sebelah
timur sungai Tigris, yang berjarak +60 km dari kota Baghdad. Di dalamnya
terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh seni bangunan Islam di kota-kota
lain.
2.
Bidang
Pemerintahan
Pada masa Abbasiyah I (750-847 M), kekuasaan
kholifah sebagai kepala negara sangat terasa sekali dan benar seorang kholifah
adalah penguasa tertinggi dan mengatur segala urusan negara. Sedang masa
Abbasiyah II 847-946 M) kekuasaan kholifah sedikit menurun, sebab Wazir
(perdana mentri) telah mulai memiliki andil dalam urusan negara. Dan pada masa
Abbasiyah III (946-1055 M) dan IV (1055-1258 M), kholifah menjadi boneka saja,
karena para gubernur di daerah-daerah telah menempatkan diri mereka sebagai
penguasa kecil yang berkuasa penuh. Dengan demikian pemerintah pusat tidak ada
apa-apanya lagi.
Dalam pembagian wilayah (propinsi), pemerintahan
Bani Abbasiyah menamakannya dengan Imaraat, gubernurnya bergelar Amir/ Hakim.
Imaraat saat itu ada tiga macam, yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa, Al-Amaarah
Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau. Kepada wilayah/imaraat ini diberi hak-hak
otonomi terbatas, sedangkan desa/ al-Qura dengan kepala desanya as-Syaikh
al-Qoryah diberi otonomi penuh.
Selain itu, dinasti Abbasiyah juga telah
membentuk angkatan perang yang kuat di bawah panglima, sehingga kholifah tidak
turun langsung dalam menangani tentara. Kholifah juga membentuk Baitul Mal/
Departemen Keuangan untuk mengatur keuangan negara khususnya. Di samping itu
juga kholifah membentuk badan peradilan, guna membantu kholifah dalam urusan
hukum.
3.
Bangunan Tempat
Peribadatan dan Pendidikan
Di antara bentuk bangunan yang dijadikan
sebagai lembaga pendidikan adalah madrasah. Madrasah yang terkenal saat itu
adalah Madrasah Nizamiyah, yang didirikan di Baghdad, Isfahan, Nisabur, Basrah,
Tabaristan, Hara dan Musol oleh Nizam al-Mulk seorang perdana menteri pada
tahun 456 – 486 H. selain madrasah, terdapat juga Kuttab, sebagai lembaga
pendidikan dasar dan menengah, Majlis Muhadhoroh sebagai tempat pertemuan dan
diskusi para ilmuan, serta Darul Hikmah sebagai perpustakaan.
Di samping itu, terdapat juga bangunan berupa
tempat-tempat peribadatan, seperti masjid. Masjid saat itu tidak hanya
berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ibadah sholat, tetapi juga sebagai tempat
pendidikan tingkat tinggi dan takhassus. Di antara masjid-masjid tersebut
adalah masjid Cordova, Ibnu Toulun, Al-Azhar dan lain sebagainya.
4.
Bidang Ilmu
Pengetahuan
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani
Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu ‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu
Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Bahasa.
Adapaun ilmu ‘aqli seperti : Ilmu Kedokteran, Ilmu Perbintangan, Ilmu Kimia,
Ilmu Pasti, Logika, Filsafat dan Geografi.
5.
Perluasan/ekspansi
Kekuasaan Islam
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, luas
wilayah kekuasaan Islam semakin bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai
Bani Umayyah, antara lain Hijaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak,
Iran (Persia), Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko,
Spanyol, Afganistan dan Pakistan, dan meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India.
Khalifah Al-Manshur berusaha menaklukan kembali
daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan
memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut
adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan
Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara, bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat Bosporus.
Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar
Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti
tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di
Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.
2.
Islam dan Barat
Tak dapat disangkal—termasuk oleh kalangan ilmuan Barat—bahkan telah
menjadi satu klise bahwa pengembangan sains modern dibangun di atas kontribusi
ilmuan-ilmuan Muslim. Di antara sumbangan terpenting mereka adalah penemuan
metode eksperimental, yang pada gilirannya melahirkan revolusi di bidang sains
dan teknologi hingga tingkat pengembangannya sebagai sekarang ini. Terlepas
dari keasyikan "memuja" masa lampau, fakta di atas disebutkan tidak
saja dalam rangka menjadikannya 'ibrah (pelajaran) tetapi
juga—seperti disebutkan Munawar Ahmad Anees[8]—sebagai keadilan sejarah (historical justice). Dengan begitu
diharapkan, bukan hanya kaum di luar Islam, tapi kaum Muslim sendiri dapat
memandang agamanya secara lebih utuh: dalam hal ini sebagai suatu kekuatan
peradaban yang (pernah) terbukti mampu mendorong pemeluknya untuk dapat—jika
bukannya harus—menjadi perambah jalan bagi penciptaan suatu masa depan
kemanusiaan yang progresif, di samping tentunya lebih manusiawi.
Sesungguhnya, pengaruh peradaban Muslim (Abad Pertengahan) jauh lebih luas
dibanding "sekadar" peletakan landasan sains modern. M.M. Sharif,
salah seorang pemikir Muslim Pakistan terkemuka pasca Iqbal—seperti dikutip
Haidar Bagir—menambahkan beberapa sumbangan lain pemikiran Islam atas pemikiran
Barat: pengenalan ilmu-ilmu sejarah; penyelarasan filsafat dengan agama;
penggalakan mistisisme Barat; peletakan landasan bagi Renaisans di Itali; dan
sampai tingkat tertentu membentuk pemikiran Eropa modern hingga masa Immanuel
Kant, bahkan (pada jurusan tertentu) hingga masa yang lebih belakang.
Bahkan, dalam wilayah tertentu tampak jelas betapa besar kontribusi kaum
Muslim terhadap dunia modern. Robert Stephen Briffault (1906-1948), dalam The
Making of Humanity, menulis:
"Meski tak satu aspek pun pertumbuhan Eropa tak dipengaruhi secara
menentukan oleh Kebudayaan Islam, (namun) pengaruh yang paling jelas dan
penting adalah pada sains-sains kealaman (natural science) dan ruh
ilmiah (scientific spirit).
Sains adalah sumbangan terbesar peradaban Arab (baca: Islam,pen)
kepada dunia modern tetapi buahnya lambat masaknya. Baru tak lama setelah
kebudayaan Moor (Arab-Spanyol) terbenam kembali ke dalam kegelapan, maka
raksasa yang dilahirkannya bangkit dalam keperkasaannya. Bukan hanya sains yang
telah menghidupkan kembali Eropa, melainkan pengaruh-pengaruh lain peradaban
Islam juga memancarkan kemilau aslinya kepada kehidupan modern..."
Di samping Beffault, tak sedikit sarjana-sarjana Barat yang secara jujur
mengungkapkan kontribusi pemikiran dan sains Islam terhadap Barat. Sebut saja
di antaranya Thomas Arnold, Alfred Guillame, George Anawati, Gustave Le Bon, S.
Lane Poole, M.P.E Berthelot, George Sarton, Max Meyerhof, John William Drafer,
Maurice Lombard, serta Eugene A. Myers.
Kini, kita kembali ke masalah inti, yakni tahapan dan bentuk-bentuk
transmisi intelektual dan sains Islam ke Barat. Transmisi pemikiran dan sains
Islam ke Barat-Kristen Abad Pertengahan melewati tahap-tahap sebagai berikut:
Tahap pertama, kelompok sarjana (Barat) mengunjungi wilayah-wilayah Muslim untuk
melakukan kajian-kajian pribadi. Constantinus Africanus (1087 M) dan Adelhard
(1142 M) dari Inggris dapat disebut sebagai perintisnya. Belakangan banyak
pelajar dari Itali, Spanyol dan Prancis Selatan menghadiri seminari-seminari
Muslim untuk belajar matematika, filsafat, kedokteran, kosmografi, dan
lain-lain. Dalam waktu yang tidak lama, mereka telah menjadi kandidat profesor
di universitas-universitas pertama di Barat, yang dibangun dengan mencontoh
seminari-seminari Muslim tersebut.
Tahap kedua, bermula dari pendirian universitas-universitas pertama Barat. Gaya
arsitektur, kurikulum, dan metode dan pengajaran universitas-universitas ini
sama dengan yang ada pada seminari-seminari Muslim. Untuk pertama kalinya, seminari Salermo didirikan
di kerajaan Napoli (Naples) oleh Raja Fredrick dari Sisilia. Di Sisilia,
buku-buku Aristoteles diterjemahkan ke dalam Latin dari terjemahan bahasa
Arabnya, untuk kemudian dibawa ke Itali. Pada saat yang sama universitas-universitas penting
juga didirikan di Pandua, Toulouse dan, belakangan di Leon.
Akhirnya,
pada tahap ketiga, sains Muslim ditransmisi ke Prancis dan
wilayah-wilayah Barat lewat Itali. Seminari-seminari dari Bologna dan
Montpellier didirikan pada awal abad ketiga belas. Baru beberapa saat kemudian
universitas Paris dibuka. Sementara itu, sains Barat ini tiba ke Inggris dan
Jerman, masing-masing lewat universitas Oxford dan Köln, yang didirikan dengan
pola yang sama.
Dari
pelbagai universitas yang ada, tiga di antaranya yang sangat termasyhur yakni
universitas Al-Azhar di Kairo, universitas Nizamiyah di Baghdad, dan
universitas Cordoba di Andalusia. Untuk yang terakhir ini, banyak orang
Barat-Kristen yang belajar di sana, yang pada urutannya kelak menjadi salah
satu tempat terpenting dalam proses transmisi pemikiran dan sains Islam ke
negeri-negeri asal mereka.
Sementara
itu, bila hendak menelusuri bentuk-bentuk transmisi pemikiran dan sains Islam
ke Barat, setidaknya terdapat dua jalur paling menonjol yaitu kontak
intelektual dan perang salib.
1. Kontak
Intelektual
Dalam
konteks ini, sedikitnya terdapat dua tempat yang sangat penting dikemukakan di
sini untuk disebut sebagai "pusat" transmisi pemikiran dan sains
Islam ke Barat-Kristen Abad Pertengahan.
Pertama, Spanyol, tepatnya Andalusia. Di Andalusia
banyak sekali universitas yang didirikan. Di sana, orang-orang Eropa banyak
berdatangan untuk kepentingan studi dan transfer cultural. Sebut
saja misalnya, Michael Scot, Robert Chester, Adelard Barth, Gerard dari
Cremona, dan lain-lain nama yang merintis kegiatan studi di
Andalusia. Toledo mempunyai peranan amat penting dalam hal ini. Seperti
diketahui bahwa Toledo, yang telah direbut kembali oleh orang-orang Nasrani
kemudian, terdapat masjid-perpustakaan yang amat banyak menyimpan khazanah
intelektual Muslim. Orang-orang Arab campuran dan Yahudi, kemudian bekerja
bersama-sama orang Nasrani Spanyol untuk melakukan penerjemahan besar-besaran.
Mereka mempelajari dan selanjutnya menjjjerjemahkan matematika, kedokteran, astronomi,
fisika, kimia, dan lain-lain dari universitas-universitas tersebut baik yang
berada di Cordoba, Toledo, Seville maupun Granada.
Kedua, Sisilia. Di wilayah ini, sains Islam, khususnya
kedokteran dipelajari di Salermo. Penerjemahan besar-besaran dilakukan terutama
oleh Constantinus Africanus (1087 M) yang beruntung menjadi murid seorang Arab.
Dari terjemahan-terjemahan bahasa Arab, ia menghasilkan terjemahan Latin
karya-karya Hipocrates dan Gales di samping menerjemahkan karya-karya orisinal
sarjana-sarjana Muslim. Di Palermo, ibukota Sisilia, juga timbul gerakan
penerjemahan besar-besaran pada abad ke-13 M di bawah dorongan Raja Fredrick II
dan Roger II. Dari
sini, karya-karya terjemahan itu dibawa ke Eropa bagian selatan, dan kelak
melahirkan Renaisans di Itali.
2. Kontak
Perang Salib
Siria
dan sekitarnya, seperti diketahui, adalah wilayah di mana Islam dan Barat
berjumpa dalam bentuk perang Salib. Perang yang berlangsung antara 1095 sampai
1291[16] ini,
sedikitnya punya pengaruh terhadap transmisi pemikiran dan sains Islam ke
Barat. Kendati demikian, disadari bila pengaruh perang salib di sini tidaklah
begitu intens, mengingat orang-orang yang datang sebagai pasukan Salib adalah
ksatria-ksatria perang dan bukan ilmuan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa
sekiranya pun terjadi transmisi akibat perang salib tetapi bentuknya tak lebih
dari peniruan tatacara hidup sebagai hasil kekaguman Barat—dalam hal ini
pasukan Salib—terhadap masyarakat Islam yang mereka lihat. Transmisi terlihat
terutama pada kemiliteran, arsitektur, teknologi pertanian, industri,
rumah-rumah sakit, permandian umum, dan dalam batas tertentu juga sastra.
Di
samping dua bentuk yang mengakibatkan terjadinya transmisi pemikiran dan sains
Islam ke Barat, tak sedikit historian melihat bila terdapat pula pengaruh
kontak pribadi dalam proses itu. Pandangan ini berangkat dari satu kenyataan
bahwa sejak penaklukan Siria, Mesir dan Persia oleh ekspedisi-ekspedisi Islam
sejak khalifah 'Umar ibn al-Khattab, tak sedikit orang-orang Kristen di Timur
(Bizantium) menjalin kontak pribadi dengan orang-orang Islam. Karena semangat
liberasi, moderasi dan toleransi yang dimiliki umat Islam, sehingga orang-orang
Kristen tidak menemukan halangan dalam mengikuti kegiatan intelektual dan
kebudayaan kaum Muslim. Tak jarang di antara mereka menjadi tokoh-tokoh penting
dalam gerakan keilmuan Islam yang lahir kemudian. Mereka pula yang kelak banyak
membantu menerjemahkan karya-karya keilmuan Yunani ke dalam bahasa Arab, dan
selanjtnya, terutama pada paruh awal abad ke-11, karya-karya terjemahan
berbahasa Arab itulah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh sarjana-sarjana
Barat.
Pengaruh
Sains Islam Terhadap Sains Barat
Salah
satu karya pemikiran Barat yang secara jujur melihat pengaruh pemikiran Islam
terhadap pemikiran Barat-Kristen adalah Kalam Cosmological Argument,
karangan William Craig. Sementara, polemikposthumous antara
Al-Ghazali dan Ibn Rusyd misalnya, mendapatkan pantulannya dalam pemikiran
Bonaventura dan Thomas Aquinas (1226-1274). Sekalipun di bawah bayangan
inkuisisi mereka tidak akan mengakui pengaruh itu, namun para sarjana modern
menemukan bahwa itu memang ada, dan cukup substansial. Demikian pula, sekarang
ini mulai ada perhatian kepada kemungkinan adanya pengaruh pemikiran Islam ke
dalam teologi Reformasi Kristen. Misalnya, ajaran Reformasi Kristen bahwa Kitab
Suci terbuka untuk semua pemeluk (dan tidak perlu dibatasi wewenang membaca dan
menafsirkan hanya kepada kelas pendeta saja), dan bahwa setiap pribadi manusia
bertanggung jawab kepada Tuhan. Mempertimbangkan bahwa ajaran serupa itu
hampir tidak dikenal di kalangan Kristen sebelumnya, maka sulit sekali
membayangkan bila para pemikir Reformis tidak terpengaruh ajaran Islam yang
relevan.
Sementara
itu, dalam bidang sains, pengaruh Islam atas Barat mencakup perkenalan
ilmu-ilmu sejarah, metode kelimuan dan penciptaan landasan bagi sains modern.
Salah
satu metode keilmuan—terutama dalam kerangka bangunan sains Islam—motif
penemuan metode eksperimental oleh kaum Muslim, memang patut dikedepankan di
sini. Seperti diketahui, dengan kian meluasnya teritori Islam—sebagai hasil
gemilang ekspedisi-ekspedisi militer (futuhat) sejak 'Umar ibn
al-Khattab, khalifah II—kaum Muslim mengalami kontak-kontak kebudayaan dan
ilmiah (scientific and cultural encounter) dengan bangsa-bangsa lain.
Satu di antara kontak terpenting adalah perjumpaan Islam dengan kebudayaan
Yunani.
Namun,
kata Iqbal berhubung
dengan konkretnya jiwa Al-Qur'an, sedang pemikiran Yunani bersifat spekulatif,
maka timbullah pemberontakan intelektual kaum Muslim terhadapnya di segenap
lini berfikir. Memang Al-Qur'an—bertentangan dengan pemikiran Yunani yang lebih
mengutamakan teori dan mengabaikan kenyataan—memberi perhatian yang sangat
besar kepada, di samping anfus (jiwa), juga alam empiris (afaq) dalam
terminologinya.
Di
bagian lain Iqbal menulis:[24]
....seperti
semua kita ketahui, filsafat Yunani telah merupakan tenaga kebudayaan yang
besar dalam sejarah Islam. Dalam pada itu, satu studi yang sungguh-sungguh
tentang Al-Qur'an serta pelbagai mazhab agama skolastik yang lahir di bawa
pemikiran Yunani telah membuka suatu kenyataan yang menarik sekali, yakni
sementara filsafat Yunani banyak sekali membuka cakrawala ahli-ahli pikir
Islam, ia pun secara merata telah pula mengaburkan pandangan mereka tentang
Al-Qur'an. Socrates telah memusatkan perhatiannya kepada dunia manusia semata.
Baginya, satu studi yang layak tentang manusia adalah manusia dan bukan dunia
tumbuh-tumbuhan, serangga, atau bintang-bintang. Betapa bedanya dengan ruh
Al-Qur'an, yang memandang juga kepada lebah sebagai penerima ilham Ilahi, dan
menyeru tiada putusnya kepada pembacanya supaya memperhatikan pula pertukaran
angin, pergantian siang dan malam, awan, angkasa penuh bintang, serta
planet-planet yang mengarungi ruang angkasa tak bertepi. Sebagai seorang murid
Socrates yang sejati, Plato memandang rendah sekali cerapan penginderaan yang
menurut pandangannya hanya menghasilkan pendapat dan bukan pengetahuan yang
nyata. Betapa beda dengan Al-Qur'an, yang memandang pendengaran dan penglihatan
sebagai pemberian Ilahi yang sangat berharga sekali dan dinyatakan sebagai yang
bertanggung jawab kepada Tuhan dalam segala kegiatannya....
Sengaja
diketengahkan kutipan Iqbal di sini secara agak panjang untuk memperlihatkan
bila metode induktif-empirikal bukanlah adopsi dari pemikiran Yunani. Dari
kutipan itu jelas pula terlihat jika paradigma pemikiran Yunani cenderung
bercorak deduktif-rasional dan karena itu pula "melangit". Sedangkan
pemikiran Islam, dengan metode induktif-empirikalnya dapat dipandang sebagai
upaya "pembumian" pemikiran sehingga menyentuh langsung kebutuhan
dasar (basic need) umat manusia.
Segeralah,
setelah itu, Islam melahirkan tidak sedikit ilmuan-ilmuan eksperimental yang
luar biasa. Kepada sebagian di antara mereka inilah Roger Bacon, bahkan
juga Francis Bacon—yang kemudian disebut-sebut sebagai 'penemu' metode
eksperimental di Barat—belajar di universitas Islam di Spanyol.
Di
samping afaq (alam empirik) dan anfus (jiwa),
Al-Qur'an juga banyak menyebut sejarah sebagai sumber pengetahuan. Walhasil,
kaum Muslim tercatat sebagai sejarawan-sejarawan—dalam arti sesungguhnya
istilah ini—yang paling dini dalam sejarah umat manusia. Kita, misalnya,
mengenal Al-Thabari, Ibn al-Atsir, Al-Mas'udi dan puncaknya Ibn Khaldun sebagai
sejarawan dan historiograf-historiograf paling dini. Bahkan untuk tokoh yang
terakhir ini, dipandang sebagai filsuf sejarah yang pertama di dunia.
Penemuan
metode eksperimental oleh cendekiawan Muslim memperlihatkan kemudian
pengaruhnya yang amat besar terhadap penciptaan landasan sains modern. Sejak
Roger Bacon dan Francis Bacon "merumuskan" kembali metode empirikal
sebagai metode keilmuan, sains Barat tiba-tiba saja mengalami revolusi. Suatu iklim
keilmuan yang kelak berpengaruh terhadap gerakan Renaisans di Barat.
Bab III
Penutup
A.
Kesimpulan
Puncak peradaban islam dapat disimpulkan dengan kemajuan-kemajuan
yang telah dicapai di setiap fase hal ini dapat kita lihat dari beberapa fase
yang dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1.
Masa
Khulafau Rasyidin
Pada masa khulafau rasyidin masih dibanyang-bayangi dengan masalah
pemilihan kepemimpinan yang menjadi snagat krusial. Dan banyak pemberontakan
yang terjadi dalam masa-mas ini. Namun demikian para khalifah tetap dapat
memperluas daerah kekuasaan hal ini ditandai bahwa pada masa akhir jabatan
khulafau rasyidin atau pada masa ali bin abi thalib islam telah meluas sampai
daerah mesir, syiria dan irak.
2.
Masa
Bani Umayyah
Pada masa ini banyak kemajuan yang diperoleh oleh dinas ti ini
antara lain:
a. Bidang Kemiliteran
b. Sistem Sosial
c. Kemajuan Arsitektur
d. Bidang Politik
Serta pada masa bani umayyah daerah kekuasan telah
meluas sampai bagian kecil Afrika Utara
3.
Masa
Bani Abbasiyah
Pada masa ini banyak kemajuan yang diperoleh oleh dinas ti ini
antara lain:
a. Kota-Kota Pusat
Peradaban
b. Bidang
Pemerintahan
c. Bangunan Tempat
Peribadatan dan Pendidikan
d. Bidang Ilmu
Pengetahuan
e. Perluasan/ekspansi
Kekuasaan Islam
Pada masa ini perluasan wilayah
islam semangkin luas wilayah yang di kuasai pada masa ini ialah sampai Hijaz,
Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania,
Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan
Pakistan, dan meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India
Daftar Pustaka
Hasan, Ibrahim Hasan. SeJarah dan
Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989
'Hasan Ibrahim Hasan. SeJarah dan Kebudayaan Islam,
(Yogyakarta: Kota Kembang, 1989). Hlm.34
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
(Jakana: UI Press, 1985). Hlm 58.
Syibli Nu'man. umar Yang Agung, (Bandung: Penerbit Pustaka
1983), hlm. 264-276 dan 324-418.
Ahmad Syalabi. Sejar ab Qn? Kzbudawzan islam, jilid 1, (Jakarta:
Puslaka A]husn 1987). hlm 263.
Ahmad Amin. Islam dari masa ke Masa, (Bandung: CV Rusy 19871
hlm 87.